October 12, 2013

Sekilo Bawal nan Mahal

+ No comment yet
Tulisan berikut adalah kategori baru dalam blog saya. Bike Journal berisi catatan perjalanan saya bersama sepeda saya. Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari seri Pakem-Parangtritis-Depok. Sebelumnya, saya sudah menulis perjalanan pertama saya ke Parangtritis, silahkan lihat Sunday Morning in Parangtritis. Indeks artikel sila buka Archive di footer halaman ini.
...
Kerumunan di sekitar lokasi Jogja Air Show menandakan Pantai Depok sudah semakin dekat. Kami mampir sebentar untuk melihat-lihat suasana Jogja Air Show. Oh, ternyata masih acara pembukaan. Kami melihat-lihat sebentar. Nampak berjejer rapi para glider (apapun nama benda yang bisa terbang di langit itu) dengan tunggangan mereka masing-masing di pinggir runway.


Sementara itu, kami mulai lapar. KAMI MULAI LAPAR. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Depok sembari mencari tempat makan. Di salah satu rumah makan pinggir pantai yang memiliki nama “Warung Makan Bu Asih” (lengkapnya mungkin asihibukepadabetatakterhinggasepanjangmasa), kami putuskan untuk menyandarkan sepeda kami dan mempersiapkan perut kosong kami untuk diisi sembari melemaskan kaki. 

DSC00184
Ah, saya lupa check-in di fourthsquare dan share di Twitter

Di atas laut sana, berseliweran burung-burung besi yang membawa banner di ekor mereka yang berbunyi “Jogja Air Show 2013.” Kurang lebih begitu.
Rekan saya, Bang Marko Parwoto (akan saya kenalkan nanti), memesan setengah kilo bawal dan lalu bertanya kepada saya. Saya yang buta makanan dan disertai karunia ke-pede-an serta ke-sok-tahuan yang berlebih, menyarankan untuk menambah pesanan karena kami berdua laki-laki yang bernafsu makan tinggi dan ngga cukup makan makanan-yang-mahal-harganya-tapi-ngga-bikin-kenyang-itu menjadi satu kilo bawal disertai dua gelas es teh. Dan harganya, kata mbak-mbaknya saat kami memesan, adalah sekitar 35ribuan. Okelah saya pikir, masih normal. Dan, saya tidak tahu kalau harga segitu adalah bawal dalam keadaan mentah.


A few minutes later...
Kami masih menunggu datangnya pesanan kami sembari menikmati sejuknya belaian angin pantai.


A few more minutes later...
Kami masih menunggu. Saya juga masih menunggu sinyal di handphone saya yang tak kunjung muncul.


A few more and more minutes later...
Makanan kami datang. Yeah finally, let’s have a feast, just for the two of us!


A few seconds later...
Ikan bawal sudah habis, es pun sudah kering, dan perut kami sudah kenyang. Saatnya pulang. Oh, iya, kami lupa membayarnya. Oleh mbak-mbak pelayannya kami disuruh membayar ke belakang saja karena kasirnya memnag dibelakang. Teman saya lalu menanyakan total harganya berapa, dan totalnya adalah delapan puluh satu ribu rupiah.

.

.

.

.

Processing input data ...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Anda boleh terkejut. Kami berdua saling berpandangan melongo saat itu. Namun apa daya, bawal sudah di perut, mau tak mau kami harus membayarnya. Dan musnahlah uang makan saya untuk seminggu ke depan. 
Setelah keluar dari rumah makan tadi, saya sempat berandai-andai, apakah harga sambelnya sepuluh ribu? Apakah harga minyaknya lima belas ribu? Ataukah harga piringnya dua puluh ribu? Tapi, tak apalah. Perut kenyang dan masih ada sisa dua ekor bawal untuk dimakan sesampainya di kos nanti. Huahua.
Kembali lagi ke arena JAS, kami mblusuk diantara gumuk pasir dan semak belukar karena jalan utama sudah terlalu penuh sesak. Dan kami mblusuk dengan membawa serta pacar kami sepeda kami sampai kami pada akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk beristirahat di bawah rimbunnya semak belukar dan panasnya terik matahari. Kami membuat bivouac (baca: bivak) mini dari dedunan sekitar kami sebagai alas, dan lumayanlah untuk merebahkan badan.

DSC00228
"Yo mblo, wes do move on durung?"

Saya berjalan-jalan ke dekat runway, kapan lagi ada momen seperti ini. Sementara itu teman saya yang sedang asik-asiknya ngebo sedang kedatangan tamu sepasang om-om dan tante-tante. Saya hanya terkekeh dari kejauhan. Dan nun jauh di atas sana sedang beterbangan para penerjun dari ....... penerjun payung pengisi acara Jogja Air Show. Disusul aksi stall sebuah pesawat nun jauh di atas awan sana. Superb! Rasanya saya ingin merasakan adrenalin yang dirasakan si pilot. 

DSC00219
So freakin high!

Dan terakhir sebelum measuki istirahat, ada segerombolan pesepatu roda. Saya kira mereka akan terus berlari hingga ke ujung runway dan lalu ikut terbang seperti yang lain. Namun ternyata harapan saya tak terkabul karena mereka berputar balik ketika sampai setengah runway. Saya kecewa.
Ketika matahari sedang terik-teriknya, kami kembali ke bivak dan lalu memutuskan untuk pulang saja daripada nanti ketiduran di bivak dan lalu malah menginap di tempat antah berantah tersebut. Di perjalanan pulang, kami mampir di sebuah masjid untuk meneduhkan diri sembari menunggu waktu sholat ashar. Tak terasa, mata ini mengantuk sekali, jadilah kami tidur sebentar.
Kurang lebih pukul setengah empat, kami pulang menyusuri jalan yang sama ketika kami berangkat. Sepanjang perjalanan kami lalui dengan khidmat dan tak terasa, kami sudah sampai di dekat kos saya. Lapar lagi, kami membeli nasi dan lalu menghabiskan sisa bawal siang tadi.
Dengan habisnya nasi serta ikan bawal delapanpuluhsaturibu tadi, maka habislah seri perjalanan Pakem-Parangtritis-Depok ini. Terima kasih dan sampai jumpa di tulisan Bike Journal berikutnya.
Dan foto terakhir, let's dance ....

DSC00218
... with the sky!
End.
#bumikelangit #bikejournal
September 09, 2013

Sunday Morning in Parangtritis

+ No comment yet
Tulisan berikut adalah kategori baru dalam blog saya. Bike Journal berisi catatan perjalanan saya bersama sepeda saya. Tulisan ini adalah tulisan kedua dari seri Pakem-Parangtritis-Depok. Sebelumnya, saya sudah menulis perjalanan pertama saya ke Pakem, silahkan lihat Suatu Sore di Pakem. Indeks artikel sila buka Archive di footer halaman ini.
...
Minggu pagi, saya bangun pagi. Sesuai janji Sabtu sebelumnya, kami hari ini akan gowes ke Parangtritis. Iya, Pantai Parangtritis. Iya, dua puluh kilometer. Dan iya, cuma kami berdua.
Pukul setengah enam pagi lebih sekian menit, saya keluar dari kos saya dengan ‘peralatan perang’ lengkap. Thrill Agent dengan ban setengah kempes, gloves adidas sepuluhribuan, jersey kebesaran MU away 12/13, celana jeans panjang, sepatu sneaker, botol x-zone berkapasitas 700 mili, dock handphone VCC, dan tentu saja celana dalam.
Teman saya sudah menunggu dengan manis di depan MM UGM. Kebetulan teman saya tidak memakai gloves maka saya relakan gloves Ind*m*r*t saya untuk dia pakai, plus saya juga tidak terlalu menyukai gloves tersebut karena terlalu gampang mbrudul.
Kami menyusuri Jalan Rahayu Samirono ke selatan lalu ........... (saya lupa detil jalannya) hingga akhirnya sampai Jalan Parangtritis. Melewati Ring Road Selatan, kami mengayuh santai ditemani hangatnya sang mentari pagi. Kontur jalan yang landai membuat saya harus banyak mengayuh dan mengatur nafas agar tidak kehabisan tenaga. Maklum, saya harus bisa mengimbangi teman sekaligus mentor saya agar tidak keok di tengah jalan.
Setelah melewati Pasar Seni Gabusan, kami mulai banyak menjumpai rombongan gowes lain yang searah dengan kami. Sempat juga kami bertemu couple lain seperti kami. Bedanya kami berjenis kelamin sejenis sama, mereka berlawanan jenis. Dan mereka menggunakan helm. Iya, miris.
Tak mau dianggap sebagai orang ketiga, dan keempat, kami lanjut saja dengan sedikit sprint dan lalu bertemu rombongan besar yang terdiri dari bapak-bapak. Kebanyakan mereka menggunakan roadbike atau MTB dengan ban road diameter kecil (ya iyalah!). Dan kami pede saja memakai ban offroad dengan diameter 1.95 dan 2.10 ( ß hahaha, anda boleh ketawa juga). Kami membututi mereka sebentar sembari mengistirahatkan kaki, sebelum kami putuskan untuk ngebut lagi. Beberapa ratus meter kemudian, kami lagi-lagi bertemu rombongan pegowes lain. Bedanya, kali ini kebanyakan remaja-remaji cewek dan cowok. Dan kami bablas saja.
Melewati Jembatan ........... (saya ngga tahu namanya juga) pintu masuk menuju Pantai Parangtritis sudah terlihat. Saya jadi was-was apabila nanti kami akan dikenai tiket masuk. Dan, seperti biasa, teman saya nyelonong masuk begitu saja, meskipun di sebelah kami ada mobil yang sedang berhenti untuk membayar tiket masuk. Smirk.
Beberapa ratus meter kemudian, kami berhenti sebentar di sebuah warung. Persediaan air kami mulai habis, apalagi teman saya yang memakai botol kecil sudah habis sedari tadi. Lanjut, mulailah trek agak naik turun walau hanya sebentar.
Kami masuk melalui salah satu pintu masuk (you don’t say!). Dan pantai penuh dengan lautan air dan lautan manusia sudah di depan mata. Saya melihat jam di handphone saya. Tujuh lebih seperempat. Well, sejam setengah lebih perjalanan. Lumayan, dibandingkan ketika saya ke PAP Krakal yang hanya berjarak 10 kilometer dan memakan hampir satu jam pejalanan.

DSC00169
The Black, Iris
DSC00172.JPG (800×600)
The Red, Donna
Narsis sebentar, saya potret sepeda saya dengan latar belakang golongan ombak (kapan lagi!). Bike, beach, and b*******! Lalu, kami lanjutkan dengan bermain ..... pasir. Maksud saya bersepeda di atas pasir. Dan, mungkin itu terakhir kalinya saya bersepeda di atas pasir, apapun jenis pasirnya itu, karena apa? Karena menguras energi sangat banyak, lebih melelahkan dibandingkan naik tanjakan ke Candi Ijo sekalipun. Bagi saya, lho. Oh ya, kami jadi pusat perhatian lho. Mungkin mereka berpikir “Niat amat mas nyepeda ke pantai? Ngga gila kan mas?” (buahahah).

DSC00171
O-llo, good morning!
(Karena foto siluet saya kurang bagus, maka ini, pelototin siluet temen saya saja)
Kami mencuci sepeda kami di sebuah aliran air dari pasir jahanam yang membuat rupa sepeda kami seperti sepeda gurun. Walaupun sebenarnya percuma, karena nantinya akan kotor lagi. Teman saya (lagi-lagi) mengeluarkan ide gilanya lagi. Mumpung sudah di Parangtritis, kenapa tidak sekalian ke Pantai Depok? Sempat eyel-eyelan mengenai masih tidaknya Jogja Air Show, akhirnya saya yang menang karena terbukti Jogja Air Show masih ada. Lucky.
Sepanjang jalan mulus antara Parangtritis, Parangkusumo, hingga Pantai Depok, kiri jalan dihiasi dengan semak belukar dan birunya air laut, sementara kanan jalan dihiasi dengan gumuk pasir yang indah. Monggo Anda yang mau foto pre-wedding bisa di sini. Tapi bukan saya lho tukang fotonya.
Kerumunan di sekitar lokasi Jogja Air Show menandakan Pantai Depok sudah semakin dekat. Dan semakin dekatlah saya pada sebuah kenyataan yang mengejutkan, sekaligus mengecutkan.

Bersambung...

#bumikelangit
August 26, 2013

Suatu Sore di Pakem

+ No comment yet
Tulisan berikut adalah kategori baru dalam blog saya. Bike Journal akan berisi catatan perjalanan saya bersama sepeda saya. Tulisan ini adalah tulisan pertama. Sebelumnya, saya sudah menulis sedikit perkenalan saya terhadap dunia sepeda, silahkan cek Way Back Home.
...
Sabtu sore di bulan Februari, lima hari sebelum (yang katanya) hari kasih sayang, saya bertandang ke kos teman saya. Bukan, bukan untuk sayang-sayangan. Sebagai informasi, teman yang saya datangi tersebut adalah laki-laki. Dan kami normal. Ya, normal.
Sore itu, teman saya, yang meracuni saya untuk bersepeda lagi, mengajak saya untuk jalan-jalan naik sepeda alias gowes ke Pakem. Saya yang belum pernah kesana dan buta jarak pun mengiyakan saja. Sebagai informasi lagi, setelah saya tahu, jarak antara kota Jogja dengan Pakem adalah sekitar 17 kilometer. Ya, karena tujuan kami di Pakem terletak di Jalan Kaliurang KM 17.
Setengah lima lebih sekian menit kami berangkat. Setelah sekiranya hampir tigaperempat perjalanan, saya meminta break. Kami beristirahat sebentar di pintu masuk menuju UI Indonesia. Dan rasanya punggung lumayan pegal dan pantat juga terasa panas setelah duduk di sadel selama satu jam-an.
DSC00154.JPG (600×800)
Timeout
Setelah lima menitan, perjalanan kami lanjutkan. Jam enam kurang, kami sampai di tujuan kami, Warung Ijo, Pakem. Jika Sabtu pagi atau Minggu pagi, tempat ini akan penuh pegowes dari berbagai tipe dan merek, err, maksud saya usia dan golongan. Dan, tentu saja, surga bagi Anda untuk melihat-lihat berbagai tipe dan merek sepeda yang berseliweran bagai bebek di pinggir kali. Dan, sore itu hanya kami berdua yang ada di sepanjang jalan tersebut. Jadilah kami naik sedikit untuk berisitrahat di depan Rumah Sakit Grhasia. Tidak, sepeda kami tidak sakit jiwa. Pun tidak dengan kami.
DSC00165.JPG (600×800)
Mungkin saatnya membuat kaos tipografi berbunyi:
"Kami tidak gila.
Kami hanya gila sepeda."
Puas dengan kegilaan narsis sepeda kami, kami putuskan untuk turun dikarenakan hari sudah menjelang Magrib. Jika perjalanan naik ke Pakem membutuhkan kurang lebih satu jam, maka ketika turun, anda hanya butuh setengah jam, untuk sampai di perempatan Jalan Kaliurang dan Ring Road Utara. Kampfft.
Sesampainya di Selokan Mataram, kami putuskan untuk sholat Magrib di Polsek Depok. Oh, maksud saya di masjid yang ada kompleks Polsek Depok. Setelah baju cukup kering dari hasil mandi keringat, kami kembali ke kos teman saya tadi.
Sesampainya di sana, setelah ngobrol ngetan-ngulon (karena ngalor-ngidul sudah terlalu overused) teman saya mengajak untuk gowes ke Parangtritis, esok Minggu. Iya, satu hari setelah Sabtu.
Jadi, Sabtu sore tadi saya tadi ke Pakem, 17 kilometer, dan, besok Minggu paginya, saya akan ke Parangtritis, 20 kilometer lebih. Jegerrr.

Bersambung...

#bumikelangit #bikejournal
Showing posts with label Bike Journal. Show all posts
Showing posts with label Bike Journal. Show all posts