Tulisan
berikut adalah kategori baru dalam blog saya. Bike Journal berisi catatan
perjalanan saya bersama sepeda saya. Tulisan ini adalah tulisan kedua dari seri
Pakem-Parangtritis-Depok. Sebelumnya, saya sudah menulis perjalanan pertama
saya ke Pakem, silahkan lihat Suatu Sore di Pakem. Indeks artikel sila buka
Archive di footer halaman ini.
...
Minggu
pagi, saya bangun pagi. Sesuai janji Sabtu sebelumnya, kami hari ini akan gowes
ke Parangtritis. Iya, Pantai Parangtritis. Iya, dua puluh kilometer. Dan iya,
cuma kami berdua.
Pukul
setengah enam pagi lebih sekian menit, saya keluar dari kos saya dengan
‘peralatan perang’ lengkap. Thrill Agent dengan ban setengah kempes, gloves
adidas sepuluhribuan, jersey kebesaran MU away 12/13, celana jeans
panjang, sepatu sneaker, botol x-zone berkapasitas 700 mili, dock
handphone VCC, dan tentu saja celana dalam.
Teman
saya sudah menunggu dengan manis di depan MM UGM. Kebetulan teman saya tidak
memakai gloves maka saya relakan gloves Ind*m*r*t saya untuk dia
pakai, plus saya juga tidak terlalu menyukai gloves tersebut karena
terlalu gampang mbrudul.
Kami
menyusuri Jalan Rahayu Samirono ke selatan lalu ........... (saya lupa detil
jalannya) hingga akhirnya sampai Jalan Parangtritis. Melewati Ring Road
Selatan, kami mengayuh santai ditemani hangatnya sang mentari pagi. Kontur
jalan yang landai membuat saya harus banyak mengayuh dan mengatur nafas agar
tidak kehabisan tenaga. Maklum, saya harus bisa mengimbangi teman sekaligus
mentor saya agar tidak keok di tengah jalan.
Setelah
melewati Pasar Seni Gabusan, kami mulai banyak menjumpai rombongan gowes lain
yang searah dengan kami. Sempat juga kami bertemu couple lain seperti kami.
Bedanya kami berjenis kelamin sejenis sama, mereka berlawanan jenis. Dan mereka
menggunakan helm. Iya, miris.
Tak
mau dianggap sebagai orang ketiga, dan keempat, kami lanjut saja dengan sedikit
sprint dan lalu bertemu rombongan besar yang terdiri dari bapak-bapak.
Kebanyakan mereka menggunakan roadbike atau MTB dengan ban road
diameter kecil (ya iyalah!). Dan kami pede saja memakai ban offroad
dengan diameter 1.95 dan 2.10 ( ß hahaha, anda boleh ketawa
juga). Kami membututi mereka sebentar sembari mengistirahatkan kaki, sebelum
kami putuskan untuk ngebut lagi. Beberapa ratus meter kemudian, kami
lagi-lagi bertemu rombongan pegowes lain. Bedanya, kali ini kebanyakan
remaja-remaji cewek dan cowok. Dan kami bablas saja.
Melewati
Jembatan ........... (saya ngga tahu namanya juga) pintu masuk menuju
Pantai Parangtritis sudah terlihat. Saya jadi was-was apabila nanti kami akan
dikenai tiket masuk. Dan, seperti biasa, teman saya nyelonong masuk
begitu saja, meskipun di sebelah kami ada mobil yang sedang berhenti untuk
membayar tiket masuk. Smirk.
Beberapa
ratus meter kemudian, kami berhenti sebentar di sebuah warung. Persediaan air
kami mulai habis, apalagi teman saya yang memakai botol kecil sudah habis
sedari tadi. Lanjut, mulailah trek agak naik turun walau hanya sebentar.
Kami
masuk melalui salah satu pintu masuk (you don’t say!). Dan pantai penuh
dengan lautan air dan lautan manusia sudah di depan mata. Saya melihat jam di handphone
saya. Tujuh lebih seperempat. Well, sejam setengah lebih perjalanan.
Lumayan, dibandingkan ketika saya ke PAP Krakal yang hanya berjarak 10
kilometer dan memakan hampir satu jam pejalanan.
The Red, Donna |
Narsis
sebentar, saya potret sepeda saya dengan latar belakang golongan ombak (kapan
lagi!). Bike, beach, and b*******! Lalu, kami lanjutkan dengan bermain ..... pasir. Maksud saya bersepeda
di atas pasir. Dan, mungkin itu terakhir kalinya saya bersepeda di atas pasir,
apapun jenis pasirnya itu, karena apa? Karena menguras energi sangat banyak,
lebih melelahkan dibandingkan naik tanjakan ke Candi Ijo sekalipun. Bagi saya,
lho. Oh ya, kami jadi pusat perhatian lho. Mungkin mereka berpikir “Niat amat
mas nyepeda ke pantai? Ngga gila kan mas?” (buahahah).
O-llo, good morning!
(Karena foto siluet saya kurang bagus, maka ini, pelototin siluet temen saya saja)
Kami
mencuci sepeda kami di sebuah aliran air dari pasir jahanam yang membuat rupa
sepeda kami seperti sepeda gurun. Walaupun sebenarnya percuma, karena nantinya
akan kotor lagi. Teman saya (lagi-lagi) mengeluarkan ide gilanya lagi. Mumpung
sudah di Parangtritis, kenapa tidak sekalian ke Pantai Depok? Sempat
eyel-eyelan mengenai masih tidaknya Jogja Air Show, akhirnya saya yang menang
karena terbukti Jogja Air Show masih ada. Lucky.
Sepanjang
jalan mulus antara Parangtritis, Parangkusumo, hingga Pantai Depok, kiri jalan
dihiasi dengan semak belukar dan birunya air laut, sementara kanan jalan
dihiasi dengan gumuk pasir yang indah. Monggo Anda yang mau foto pre-wedding
bisa di sini. Tapi bukan saya lho tukang fotonya.
Kerumunan
di sekitar lokasi Jogja Air Show menandakan Pantai Depok sudah semakin dekat.
Dan semakin dekatlah saya pada sebuah kenyataan yang mengejutkan, sekaligus
mengecutkan.
#bumikelangit
Post a Comment