Chapter
6
Ia terlihat tanpa beban dari air mukanya. Pun begitu, jauh di
hatinya, ia sedang bingung. Matanya menerawang jauh ke depan, mencoba melihat
apa yang akan terjadi padanya di waktu yang akan datang. Ia memainkan imajinya,
memainkan sentuhan kuasa akan masa depannya. Namun sia-sia saja, yang
berkehendak tak setuju dengan dirinya.
...
Aku berkenalan dengannya, diantara senyum mendungnya. Siapapun tak
mengira ia sedang bersembunyi, atau lebih tepatnya berlari, dari ketakutan masa
lalunya. Ya, masa lalu yang belum sanggup ia tinggalkan di belakang. Senyumnya terasa pahit baginya, seakan-akan ia lupa bagaimana manisnya ia tersenyum, bagaiman tawanya ketika ia senang, dan bagaimana bahagianya ketika semua itu masih ada. Tak ada, tak ada yang tersisa. Ia lupa mengingatnya karena terlalu dalam terjatuh dalam peluh nestapanya.
Ia rapuh, serapuh debu yang tertiup angin. Perlahan, aku mulai
mengenalnya, dan mulai terjatuh semakin dalam dengan kerapuhannya. Ia rapuh,
begitupun juga aku. Dan ia membuatku bermimpi, jauh memimpikan dari apa yang
mampu aku jangkau, bahkan ketika waktu berhenti, lalu berputar sekalipun.
Setidaknya, ia pernah membuatku menjadi sedikit gila, menjadi bukan aku, bukan diriku,
hingga aku sadar, semua itu bukanlah aku. Tapi jalan takdir tetaplah jalan takdir, sekuat apapun aku mencoba menerimanya, aku tetap tak mampu. Melawan tak mampu, menerima pun tak mampu. Dan pada akhirnya aku hanyalah manusia-Nya.
Aku hanya sebentar dipersinggahannya, ya tak selama yang aku kira. Aku hanya
membantunya berdiri, menjadi kuat di atas dirinya sendiri, dan menunjukkan
jalan yang seharusnya ia lalui. Dan ketika ia mampu berjalan sendiri, ia
perlahan maju meninggalkan punggungnya di kejauhan. Dan semakin menghilang. Aku
masih terpaku ketika itu. Aku.. rapuh lagi.
...
Waktu terus berputar, bahkan ketika aku berharap aku bisa
menghentikannya, dan memutar ulang. Ia terus berjalan, bahkan ketika aku masih
belum mampu berjalan lagi. Kejam, memang. Tapi, jika waktu tidak kejam, maka
akulah yang bodoh. Terlena dan berputus asa bukanlah pilihan terbaik. Masih ada
yang lebih baik, dan selalu akan ada yang lebih baik. Itulah yang mulai aku
percaya, dan aku percaya hingga sekarang, hingga aku dipertemukan dengannya, saat ini, bukan yang sudah lalu.
Kau pernah membuatku yakin, tapi kau pernah membuatku bimbang. Kau
pernah membuatku kuat, tapi kau pernah membuatku lemah.Kau pernah membuatku
tertawa, tapi kau pernah membuatku nelangsa. Pada akhirnya, kau, aku, dan kita,
hanyalah sebuah bagian kecil dari sebuah cerita. Cerita dimana kita pernah
berjalan bersama dan akhirnya bersimpangan ke arah yang berbeda. Kita tak
pernah sama. Dan aku tak menyesali itu.
Seperti yang pernah kau ucapkan “Ini yang terbaik.” Dan inilah
saat terbaik, untuk membuka impian baru, yang lebih baik, lebih baik dari apa yang sudah pernah kau
goreskan.
Adieu.
#bumikelangit #theseries
New comments are not allowed.