Chapter
3
Aku terus saja merutuki kehilangan ini. Bukan yang sudah berlalu.
Jauh, terlalu jauh. Aku bahkan tak mampu melukiskan dalam lisan jika aku harus
bercerita. Yah, begitulah. Kawan, kau tahu kan kehilangan? Sama seperti debu
yang disapu angin, seperti siang yang tak pernah bertemu malam. Ironis? Tidak
juga. Bukan lebih tepatnya. Mungkin.
“Ia berputar.”
“Apa?”
“Poros itu
berputar pada hidupku.”
“Tidak!
Sebenarnya hidupmu yang berputar pada poros itu.”
“Sama
seperti kepalaku yang terasa berputar-putar. Aku pusing. Sama seperti poros
yang mulai goyah itu. Goyah karena lelah berputar. Ia seperti ingin ambruk.”

“Jangan.”
“Kenapa?”
“Kau tak
tahu kalau kau bisa menyeimbangkannya.”
“Lagi?”
“Mungkin.”
“Kau tak
yakin?”
“Kau tak
yakin?”
“Aku?”
“Ya.”
Waktu.
“Sudah
berapa lama kau seperti ini?”
“Aku tak
tahu. Aku tak menghitungnya.”
“Jangan
terlalu apatis.”
“Salahku?”
“Aku tak mau
berdebat. Kau butuh sendiri?”
“Tidak. Aku
bukannya selalu begitu? Kau tahu sendiri bukan?”
“ ........ ”
“Aku akan
segera menyelesaikannya. Kembalilah nanti.”
Salah?
“Kau tahu,
berapa lama kau telah membisu?”
“Tidak. Aku
tak peduli sudah berapa lama. Aku menyukainya.”
“ ........ ”
Berharap hujan mampu melarutkan kehilangan ini.. itu bodoh sekali
ya? Aku bukan debu, aku bukan pula elektron yang berharap akan dijadikan proton
oleh neutron. Tidak sesederhana itu. Akan tetapi, serumit apa itu pun aku juga
tidak tahu.
#BumiKeLangit
#TheSeries
#3