Tas
basah. Baju ganti basah. Jaket basah. Helm basah. Sepatu basah. Kaos kaki
basah. Celana basah. Dan bahkan celana yang lain pun ikut basah. Jadi lah saya
pergi ke Dieng dengan modal mental baja. Dan jangan dicoba di rumah. Cobalah di
Sikunir. Meh.
Oh,
besok Senin ya? Tugasnya gim—now
playing The Ting Tings –Shut Up and Let Me Go.
***
Condongcatur, 15 November 2013, 11.00 am
Jumat
itu, bulan November hari ke 15, saya diambang kegalauan. Bukan, bukan karena
ada dua cewek yang nembak saya. Impossibruu! Saya galau diantara
harus ikut kuliah pengganti atau packing ke rumah teman kos saya di
Banjarnegara, lalu disambung menginap di Dieng. Opsi kedua terlihat lebih
menyenangkan. Jadi, mari skip kelas siang ini, pikir saya.
Kami
pergi kesana berenam orang; saya, Bang Marko Parwoto, Om Aang (yang baru saja
menjadi seorang sarjana sekaligus tuan rumah yang akan kami rusuhin),
Mas Faris, dan dua orang bidadari diantara para bidadara, Miss T dan Miss R.
Tujuan kami adalah Kota Ngapak, Banjarnegara, lebih tepatnya Karangkobar, atau
Kota Karangkobar (Mas Aang said it was a city, though it is really, I really
mean really, far away from the city of Banjarnegara itself).
Berangkat
dari kosan kami di Jembatan Merah, kami langsung disambut hujan di perempatan
Condong Catur – Ring Road Utara. Sempat terpisah hingga saya dan Bang Marko
harus menepi di utara SPBU Jombor, kami akhirnya bertemu di Jalan Magelang KM
sekian sekian. Dan bagaimanakah perjalanan kami hingga sampai di Karangkobar? Oh,
I mean Karangkobar City. Saya ceritakan singkat saja. It was painful,
though I am not the driver. Mungkin gambaran gampangnya seperti lagunya
Ninja Hattori. Atau lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung, minus pohon cemara di
kiri-kanan jalan. Bonus: hujan deras. Oh ya, kami memakai motor. Berboncengan.
Enam orang. Tiga motor. Sekali lagi, motor. Dan hujan. Deras.
Dan
setelah lima jam bosan di motor, sampai jualah kami di Karangkobar City. Surprise!
Tas dan seisinya basah. Juga termasuk baju dan jaket serta celana yang saya
pakai. Malam itu, setelah semuanya mandi, kecuali saya, kami adakan rapat kecil
untuk mempersiapakan perbekalan mendaki Sikunir esok malam, Sabtu Malam jika
anda sensitif dengan Malam Minggu. Tenda dan sleeping bag aman (terima
kasih untuk @kalderaprau ). Perbekalan makanan-minuman, baju ganti, jaket, jas
hujan, senter, korek-kompor-gas, penghangat badan, obat-obatan, hingga
perbekalan pribadi seperti bedak-bedak; semua terkendali. Dan seperti biasa,
tenda warna-warni-mirip-tenda-anak-SD yang kami gunakan menginap di
Nglanggeran pun ikut serta menemani saya dan Bang Marko untuk menaklukan
dinginnya Dieng. Malam itu juga saya putuskan untuk tidak mandi, menimbang air
yang lebih dingin dari hati seseor—lebih dingin dari cooler di Kopma
UN*.
***
Karangkobar City, 16 November 2013, 04.40 am
Esoknya,
bangun pagi adalah kebiasaan. Tidur lagi adalah kewajiban. Tidak tidak, saya
menerima ajakan Bang Marko untuk berjalan sebentar menikmati udara pagi dan
dinginnya Karangkobar City, sementara itu sang tuan rumah dan Mas Faris sedang
asik berpelukan di atas kasur. Selesai jalan-jalan, saya mandi. Saya akhirnya
mandi. Saya mandi.
Selesai
mandi, saya teringat sesuatu. Bagaimana perasaan anda ketika sedang asik
liburan, ada sebuah sms masuk dari dosen yang meminta anda untuk mengirimkan
file presentasi dari mata kuliah satu semester yang lalu? That happened to
me, sadly. Well, mau tidak mau pagi itu saya meminjam motor Mas Aang
menembus dinginnya udara pagi dan pergi ke warnet yang saya temukan saat
jalan-jalan pagi tadi. File sent. Dan tiba-tiba saja perut saya
berontak. End of story.
***
Sesuai
rencana, pagi itu kami berbelanja kebutuhan untuk menginap di Puncak Sikunir,
Dieng, malam nanti. Mulai dari air minum, mi instan, pop mie, kopi,
spiritus, obat-obatan, hingga kaos kaki. Yosh, semua sudah siap. Saatnya
kembali ke base camp, packing dan tidur.
Pada
akhirnya saya tidak bisa tidur karena terlalu sibuk mengeringkan baju dan isi
tas saya yang hampir semuanya basah.
***
Packing selesai. Mobil siap. Kami
pun siap. Sekitar jam 4 sore, kami berangkat menuju Dieng. Dan ya, jalan
naik-turun berkelok menjadi pemandangan biasa sepanjang perjalanan. Ditambah
lagi dengan udara dingin yang lebih dingin dari hati para jomblo yang kesepian.
Setelah
berhenti sebentar di pintu masuk Dieng Plateu Theater guna menunggu suplai sleeping
bag dan tenda dari @kalderaprau, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini
ditemani dengan sedikit jalan kaki karena mobil yang tidak kuat melewati jalan off-road.
Matahari
sudah terbenam ketika kami sampai di parkiran Sikunir. Setelah sholat dan
menurunkan barang bawaan dari mobil, dan sedikit narsis juga, kami memulai
perjalanan naik. Medan di Sikunir tidak terlalu sulit dan sepanjang di
Nglanggeran, akan tetapi cukup untuk membuat ngos-ngosan Mba T dan Mba
R. Sebagai lelaki pantang menyerah dan rajin menabung, saya serta Mas Faris pun
dengan setia menunggui kedua perempuan pemberani ini. Sementara itu Bang Marko
dan Mas Aang sudah berjalan terlebih dahulu, mencari spot terbaik untuk
mendirikan tenda.
Angin
malam itu terasa sangat menusuk, terlebih lagi saya hanya memakai kaos tanpa
jaket dan tanpa sarung tangan. Dengan baik hati, Mba T dan Mba R meminjami saya
sarung tangan dan ...... semacam penutup kepala penjaga villa di film-film.
Saya lupa namanya.
Akhirnya,
dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong oleh keinginan luhur, kami berempat
sampai juga di camping ground Puncak Sikunir. Tanpa tanda-tanda akan
hujan, langit malam yang cerah, dan tentu saja, bulan yang bulat penuh, kami
akhirnya berada di Puncak Sikunir.
Di
depan kami, berdiri dengan gagah Gunung Sumbing. Besar, kokoh, cantik, dan
menakjubkan. Sementara itu, dibelakangnya terlihat siluet gunung Sindoro. Beautiful!Kedua
gunung ini sering terlihat di pagi hari di arah tenggara kota kelahiran saya
ketika dulu saya berangkat sekolah saat saya masih SD.
Mengingat
malam yang sudah turun dan angin yang semakin dingin, kami memulai mendirikan
tenda, dimulai dari tenda unyu, lalu dilanjutkan dengan tenda sewaan. Dan voila,tenda
akhirnya berdiri, api unggun sudah jadi, dan makan malam alakadarnya dengan pop
mie rebus pun siap santap. Dikarenakan malam itu adalah Malam Minggu, eh
maksud saya Sabtu Malam, banyak juga rombongan lain yang camping di
Sikunir.
Malam
semakin larut, angin mulai bertiup kencang, dan suhu di Puncak Sikunir semakin
dingin, kami putuskan untuk tidur dan bersiap untuk menyaksikan Golden
Sunrise esok hari.
***
Sikunir, 17 November 2013, 04:00 am
Jam
empat pagi saya bangun dikarenakan suasana sekitar tenda mulai ramai oleh
orang-orang yang sedang bersiap menyaksikan matahari terbit. Come on, it
still one hour more! Mau tidak mau saya bangun juga, mengingat tadi malam
saya menggigil kedinginan gara-gara tidur di pinggir lubang angin tenda. Well,
can’t help it.
Selesai
sholat subuh dan setelah memakai atribut anti dingin, kami kemudian mencari spot
untuk menyaksikan Golden Sunrise Sikunir. Yah, meskipun tidak di spot
utama yang sudah penuh terisi, tak apalah, toh akan tetap terlihat juga.
When the sun starts to shine.. |
Jam menunjukkan angka lima kurang dua belas menit ketika semburat
oranye mulai muncul dibalik “tubuh besar” Gunung Sumbing ini. Dan sembilan
belas menit kemudian, sang mentari mulai muncul dari peraduannya, menampakkan
segaris sinar kuning di layar kamera HP saya. Perlahan-lahan, lembayung itu
berubah warna, oranye, merah, ungu, hingga kuning keemasan, mereka
beradumenyejukkan mata ini.
Serasa
menjadi anak kecil, segurat senyum tergaris di wajah saya. Indah. Dan disaat
seperti ini, saya ingin berbagi dengan seseorang, duduk di sebelahnya, melihat
dan merasakan hal yang sama, meskipun ia jauh di barat sana, meskipun hanya
selewat kesempatan ditengah sulitnya sinyal, meskipun hanya lewat satu frase
pendek saja.You remember this time, no?
Beautiful isn't it? |
***
Saat
sunrise dimulai, saat itu juga sesi narsis dimulai. Well, saya lebih
suka mengabadikan sunrise itu sendiri ataupun siluet saya atau
mengabadikan orang lain dibanding harus narsis ini itu segala macem.. walaupun
alasan sebenarnya adalah karena saya tidak bisa bergaya macem-macem ketika
difoto. I have one actually. Ya, seperti di bawah ini.. mungkin terinspirasi
dari patung Penebus di Rio de Janeiro, Brazil. Yes, freedoom! Kebebasan di
alam, tanpa pikiran, tanpa beban, bahkan tanpa internet pun anda punya teman di
sini, di sisi anda.
♪ I'm free to be whatever I, whatever I choose, and I'll sing blues if I want |
Setelah
dirasa cukup, Bang Marko mengajak saya untuk hunting spot lain.. untuk narsis
lagi. Ya, di Sikunir, ketika kita menghadap ke timur, yang ada adalah bentangan
gunung-gunung, sementara ketika kita menghadap ke arah barat, dibalik bukit ini
terdapat bentangan Telaga Cebongan (atau mungkin Kecebong?) yang juga tidak kalah cantik
ketika dilihat dari atas sini. Narsis moment, starto!
Sisi lain. |
Saya
dan Bang Marko kemudian melanjutkan berkeliling ke spot utama, yang
ternyata masih ramai oleh orang-orang. Sementara itu, keempat teman kami yang
lain kembali ke tenda dan sementara kami berdua melanjutkan sesi narsis kami di
spot utama ini. Oh, sedang ada pengambilan gambar. FTV kah? Atau mungkin
sekuel Naga Terbang di Ind*s**r?
Kami
putuskan untuk pulang kembali ke tenda kami, dimana kami harus bersiap-siap
kembali pulang ke Karangkobar City untuk pulang ke Jogja sore nanti. Tak
lengkap rasanya jika berkemah tidak makan mi instan yang sudah susah payah kami
beli hari kemarin. Maka dari itu, untuk mengganjal perut sebelum mulai
berkemas, kami memasak mi seadanya sebagai sarapan spesial pagi ini. Kenapa
spesial? Karena adanya kamu, maka sarapan pagi terasa spesial. #ealahbro
Banyak teman, banyak petualangan, banyak kenangan. #halah |
Sisi lain (lagi). |
Jam
tujuh lebih, kami mulai berkemas pulang, membereskan tenda, mengepak tas, dan
membersihkan sisa sampah untuk dibakar. Sebagai pecinta alam—walaupun
amatiran—yang baik, anda harus selalu ingat prinsip yang sudah saya tuliskan di
tulisan sebelumnya, Sabtu Malam di Nglanggeran: Take nothing but picture,
leave nothing but footprint, kill nothing but time.
Yah
meskipun tidak semua orang sadar akan hal itu, seperti yang saya jumpai ketika
perjalanan naik, ada orang yang merobohkan dahan, atau batang mungkin, pohon
untuk dijadikan kayu bakar. Dan, ketika kami baru saja sampai di spot pendirian
tenda kami, ada yang kena semprot karena hal yang sama. PADAHAL, dalam
perjalanan naik sudah dipasang papan larangan seperti dilarang memotong
kayu/pohon, meninggalkan sampah, ataupun hal lain yang saya lupa untuk
memotretnya. Yet, they’re still human.
Sekitar
jam 8 pagi, kami sudah selesai berkemas dan bersiap untuk turun. Seperti biasa,
sepanjang jalan, beberapa kali kami berhenti. Bukan, bukan untuk mengambil
nafas, melainkan mengambil foto narsis kami.
Sesampainya
di bawah, lagi-lagi kami narsis. He he he.
Sementara
itu, ketika mobil lain parkir di parkiran khusus mobil, mobil yang kami gunakan
justru terparkir manis di parkiran motor... jangan tanya kenapa ke saya. Dia
sopirnya, DIAAA!!!
Perjalanan
pulang dimulai. Yak, lagi-lagi kami harus berjalan kaki karena mobil yang tidak
kuat nanjak di jalan yang na’udzubillah dan juga harus menunggu truk
pengantar pupuk berjalan mundur dikarenakan jalan yang hanya muat untuk satu
mobil.
Kami
mampir sebentar di Kawah Sikidang. Satu, untuk narsis di tepi kawah. Dua, untuk
mengembalikan tenda dan sleeping bag kepada @kalderaprau. Dan ketiga,
untuk membeli karika.. err, carica.. atau carika? Well, whatever the name.Sedikit
cerita, tiket yang semula seharga dua puluh ribu per orang, ketika kami masuk,
menjadi dua puluh ribu untuk satu mobil. Rahasianya? Bisikkan “Mas Bambang”
kepada petugas tiket dan voila.... magic happens. Tidak tidak, jangan
ditiru. Boleh ditiru, resiko ditanggung sendiri.
Kawah Sikidang. #udahgituaja |
***
Karangkobar City, 17 November 2013, 11:30 am
Saya
terbangun sekitar jam dua belas kurang dan mobil sudah sampai di depan rumah
Mas Aang. Jogja semakin dekat.
Setelah
ngemil, mandi, ngemil, sholat, ngemil, makan, ngemil,packing,
dan meng-copy foto narsis kami yang besarnya hampir 1 GB, jam
setengah empat sore kami memulai perjalanan pulang kami. Terlebih dahulu kami
mampir di rumah Mba R di Temanggung. Dan lirik Temanggung udane deres terasa
sangat tepat mengiringi perjalanan kami yang ditemani oleh hujan cukup deras. Beruntung,
sesampainya di rumah Mba R, kami makan malam sebentar sembari menikmati
hangatnya kopi. Duh dek.. penak’e.
***
Condongcatur, 17 November 2013, 09:30 pm
Jam
setengah sepuluh malam, kami sampai juga di kos setelah saya hampir mati bosan
dengan panjangnya jalan satu arah di Magelang. Dan, perjalanan Jogja-Dieng via
Magelang-Banjarnegara-Karangkobar-Wonosobo-Temanggung berakhir sudah.
Namun...
tugas dari dosen tak berakhir jua.
Hoihaa!
#bumikelangit
Post a Comment