Sebenarnya saya ingin berpetualang ke
tempat ini, ke Gunung Nglanggeran, ditemani dengan partner sehati saya, si
Iris. Akan tetapi, dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan serta fisik yang
masih lebih dibutuhkan untuk kuliah, maka akhirnya diputuskan untuk menggunakan
motor saja. Dan, judul di atas tidak dimaksudkan untuk menyindir pihak-pihak
tertentu, terutama yang sensitif dengan kata-kata "Malam Minggu".
Sekian.
***
“I’m at Gunung Api Purba Nglanggeran
w/ 1861837 others.
And noboby gives a f**k.”
Ingin sekali saya meng-update status
di Facebook atau nge-tweet di Twitter saya dengan kata-kata di atas. Namun
alangkah malangnya saya ketika saya tidak mendapatkan sinyal di puncak Gunung
Api Purba pada Sabtu malam yang dingin itu, 26 Oktober yang lalu. Dan lebih
malangnya lagi, saya tidak punya f***square.
But whatever, akhirnya saya bisa naik
ke Nglanggeran walaupun tidak ditemani Iris (ごめんなさい,
Iris-chan).
Sabtu, 26 Oktober 2013,
17:00 pm
Saya sudah sampai di Camping Ground I
bersama rekan tercinta saya, Bang Marko Parwoto. Oh ya saya lupa kalau saya
pernah berjanji akan mengenalkannya. Nanti, nanti pasti akan saya kenalkan.
Jadi bermula dari ajakanya pada Senin
sebelumnya, setelah ia dan teman sekelasnya turun dari Nglanggeran, nampaknya
ia ketagihan naik ke gunung dan mengajak saya untuk naik ke Nglanggeran. Saya
dengan polosnya mengiyakan saja, karena saya memang belum pernah kesana dan
memang menginginkan untuk kesana.
Kembali ke Camping Ground I, setelah
mendirikan tenda warna-warni untuk kemping anak SD yang dipinjam dari
temannya, kami kemudian naik ke Puncak ..... (maafkan ingatan buruk saya,
saya lagi-lagi lupa namanya) untuk menikmati sunset. Alangkah indahnya sunset
tersebut jika tidak ada awan-awan cumulunimbus sialan yang menghalangi
lembayung senja sore itu. Tapi lumayanlah, betapa masih menjengkelkan dan
membuat trauma-nya tanjakan di Bukit Bintang, lelahnya naik tangga dari pintu
masuk, dan menusuk-nusuk tulangnya angin sore di puncak gunung, terbayar lunas
dengan pemandangan yang menakjubkan. Ya, mata saya masih berbinar-binar, dan
bahwa saya nampaknya semakin jatuh cinta dengan segala keistimewaan yang
diberikan-Nya kepada saya di Jogja ini.
Dikarenakan gagal sunset, kami
putuskan untuk turun karena angin juga semakin mensuk hati yang kesepian ini.
Di jalan pulang, kami berkeliling untuk mencari kayu bakar untuk tentu saja
kami bakar nanti malam. Kembali ke Camping Ground I, kami bertemu teman Bang
Marko, Mba Saras 008 yang juga akan menghabiskan malam di puncak ini.
Awesome! |
Selesai sholat Magrib, kami makan nasi
telur yang kami bungkus dari kos sembari memperhatikan orang-orang yang mulai
berdatangan untuk menghabiskan malam di puncak ini. Ada calon guru-guru agama
dari UII, penyiar radio yang sama berisiknya dengan suara radio, dan adik
tingkat dari jurusan Bahasa Inggris kami. What a perfect coincidence. Apakah
ini semacam makrab untuk para calon-calon guru bahasa inggris ini? Entah.
Dan pemandangan malam yang menakjubkan
dari atas sini. Pemandangan lampu tower-wower dan lampu kota yang dulu hanya
saya lihat di foto di layar laptop, akhirnya bisa saya lihat dengan mata kepala
saya sendiri.
Great view actually. Tapi karena kami hanya bermodalkan camdig... maka seperti inilah hasilnya. |
Malam itu, semua berjalan lancar. Kami
membakar kayu bakar yang kami kumpulkan sore tadi untuk membuat api unggun. Semua masih baik-baik saja, sampai negara api
menyerang.
Ah maksud saya, sampai ketika malam
mulai masuk setengahnya, hujan turun. Kami hanya bisa berdiam di dalam tenda
yang agak bocor atasnya. Dingin dan lembab, saya bertanya-tanya, bisakah saya
tidur. Setelah satu jam lebih, hujan akhirnya berhenti, digantikan dengan tanah
basah dan becyeek.
Bang Marko dan teman-teman lain keluar dari peraduan, menyalakan api unggun kembali, menyeduh kopi, dan membuat jagung bakar. Saya yang gagal tidur, akhirnya memutuskan untuk keluar dari tenda dan bergabung dengan yang lain. Saya juga lapar. Hehe.
Beberapa jam kemudian saya pergi
tidur, sementara rekan tercinta saya memutuskan untuk jaga api. Hingga pagi
menjelang, ia tidak tidur sama sekali.
Bang Marko dan teman-teman lain keluar dari peraduan, menyalakan api unggun kembali, menyeduh kopi, dan membuat jagung bakar. Saya yang gagal tidur, akhirnya memutuskan untuk keluar dari tenda dan bergabung dengan yang lain. Saya juga lapar. Hehe.
Mau? |
Minggu, 27 Oktober 2013,
04:20 am
Saya putuskan untuk bangun karena
bisik-bisik di luar dan lembabnya di dalam tenda yang lumayan mengganggu tidur
saya. Dan ternyata teman saya belum bisa tertidur juga. Kami putuskan untuk
sholat subuh sembari menunggu teman-teman dari UII naik bersama-sama ke puncak
untuk tentu saja melihat sang mentari keluar dari peraduannya. Teman saya
memutuskan untuk tidak ikut karena ingin tidur, katanya.
Yak, baiklah saya naik sendiri bersama
teman-teman yang lain. Lagipula, minggu lalu pun dia sudah kesini ya? Melewati
embun-embun pagi yang masih menempel di ujung-ujung daun basah, ditemani
dinginnya angin pagi yang menusuk tulang, dan akhirnya sampai juga di puncak
setelah menaiki bebatuan yang cukup untuk membuat seorang mahasiswi dari UII
ketakutan naik.
Sesampainya di atas, sang mentari
masih belum muncul. Hanya saja, segaris warna kekuningan mulai muncul. Lucky.
Sembari menunggu, lagi-lagi hanya angin dingin yang menjadi teman ketika yang
lain bersama teman atau pasangan mereka. Meh, whatever.
Pukul 5 lebih 18 menit, sang mentari
mulai menampakkan wujudnya. Bersamaan dengan itu, maka Waktu Indonesia untuk
narsis bersama Sunrise pun dimulai.
Kamera HP check, camdig check, baterai
.... oh, sh*t. Nampaknya saya lupa untuk mengecek tadi sebelum naik. Dan
dengan susah sinyal serta tangan yang membeku, saya sms Bang Marko menanyakan
perihal baterai yang hilang tadi. Dan lalalabumbum, Mba Saras 008 datang
memberi pertolongan dengan membawakan baterai camdig yang hilang tadi. Yeah,
let’s shoot!
Tak terhitung berapa foto yang saya
ambil, dan saya mulai jenuh dengan angin dingin yang terlalu cari perhatian dan
posesif kepada saya. Saya putuskan untuk turun bersama mbak-mbak yang takut
naik tadi. Dan lagi-lagi mba tersebut, sebut saja Bunga, masih takut turun
meskipun kata-kata manis sudah digunakan untuk merayunya.
Sunrise di Nglanggeran. #udahgituaja |
Another view, from Bang Marko's camera |
A few seconds later...
Mba-mba tadi sudah kembali ke tendanya
dengan selamat, sementara saya masih nagkring di atas bukit batu di sebelah
tenda, melihat-lihat tenda kami dan teman-teman lain serta aktivitas lain di
pagi hari dari atas sini. Sementara itu, teman tercinta saya masih dengan
setianya menjaga serta mengelus-elus api unggun yang hanya tersisa kepulan
asapnya sedari malam tadi.
Coba tebak, manakah tenda kami? |
Satu per satu, para penghuni sementara
Camping Ground I ini mulai berkemas. Tak lupa, sisa sampah mereka bersihkan dan
bawa turun. Sebagai pendaki dan traveler, atau apapun itu istilahnya, you
should know these three principles: Take nothing but picture, leave nothing
but footprint, kill nothing but time.
Dan setelah berkenalan dengan teman
baru, Bang Jay, yang ternyata buat saya sudah lumayan expert dalam hal naik
turun gunung, kami berdua pun ikut berkemas-kemas menuju tempat mbolang
selanjutnya.
Q: Lho? Kok bisa? Kan rencananya cuma
nginep semalam di Nglanggeran?
A: Rencana itu bisa berubah kawan,
jangan selalu terpaku rencana. Just do it!
Bersambung... or updated
here. Soon.
#bumikelangit
Post a Comment