December 15, 2013

Sikunir, I’m in Love

+ No comment yet
Tas basah. Baju ganti basah. Jaket basah. Helm basah. Sepatu basah. Kaos kaki basah. Celana basah. Dan bahkan celana yang lain pun ikut basah. Jadi lah saya pergi ke Dieng dengan modal mental baja. Dan jangan dicoba di rumah. Cobalah di Sikunir. Meh.

Oh, besok Senin ya? Tugasnya gim—now playing The Ting Tings –Shut Up and Let Me Go.
*** 
Condongcatur, 15 November 2013, 11.00 am
Jumat itu, bulan November hari ke 15, saya diambang kegalauan. Bukan, bukan karena ada dua cewek yang nembak saya. Impossibruu! Saya galau diantara harus ikut kuliah pengganti atau packing ke rumah teman kos saya di Banjarnegara, lalu disambung menginap di Dieng. Opsi kedua terlihat lebih menyenangkan. Jadi, mari skip kelas siang ini, pikir saya.
Kami pergi kesana berenam orang; saya, Bang Marko Parwoto, Om Aang (yang baru saja menjadi seorang sarjana sekaligus tuan rumah yang akan kami rusuhin), Mas Faris, dan dua orang bidadari diantara para bidadara, Miss T dan Miss R. Tujuan kami adalah Kota Ngapak, Banjarnegara, lebih tepatnya Karangkobar, atau Kota Karangkobar (Mas Aang said it was a city, though it is really, I really mean really, far away from the city of Banjarnegara itself).
Berangkat dari kosan kami di Jembatan Merah, kami langsung disambut hujan di perempatan Condong Catur – Ring Road Utara. Sempat terpisah hingga saya dan Bang Marko harus menepi di utara SPBU Jombor, kami akhirnya bertemu di Jalan Magelang KM sekian sekian. Dan bagaimanakah perjalanan kami hingga sampai di Karangkobar? Oh, I mean Karangkobar City. Saya ceritakan singkat saja. It was painful, though I am not the driver. Mungkin gambaran gampangnya seperti lagunya Ninja Hattori. Atau lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung, minus pohon cemara di kiri-kanan jalan. Bonus: hujan deras. Oh ya, kami memakai motor. Berboncengan. Enam orang. Tiga motor. Sekali lagi, motor. Dan hujan. Deras.
Dan setelah lima jam bosan di motor, sampai jualah kami di Karangkobar City. Surprise! Tas dan seisinya basah. Juga termasuk baju dan jaket serta celana yang saya pakai. Malam itu, setelah semuanya mandi, kecuali saya, kami adakan rapat kecil untuk mempersiapakan perbekalan mendaki Sikunir esok malam, Sabtu Malam jika anda sensitif dengan Malam Minggu. Tenda dan sleeping bag aman (terima kasih untuk @kalderaprau ). Perbekalan makanan-minuman, baju ganti, jaket, jas hujan, senter, korek-kompor-gas, penghangat badan, obat-obatan, hingga perbekalan pribadi seperti bedak-bedak; semua terkendali. Dan seperti biasa, tenda warna-warni-mirip-tenda-anak-SD yang kami gunakan menginap di Nglanggeran pun ikut serta menemani saya dan Bang Marko untuk menaklukan dinginnya Dieng. Malam itu juga saya putuskan untuk tidak mandi, menimbang air yang lebih dingin dari hati seseor—lebih dingin dari cooler di Kopma UN*.
***
Karangkobar City, 16 November 2013, 04.40 am
Esoknya, bangun pagi adalah kebiasaan. Tidur lagi adalah kewajiban. Tidak tidak, saya menerima ajakan Bang Marko untuk berjalan sebentar menikmati udara pagi dan dinginnya Karangkobar City, sementara itu sang tuan rumah dan Mas Faris sedang asik berpelukan di atas kasur. Selesai jalan-jalan, saya mandi. Saya akhirnya mandi. Saya mandi.
Selesai mandi, saya teringat sesuatu. Bagaimana perasaan anda ketika sedang asik liburan, ada sebuah sms masuk dari dosen yang meminta anda untuk mengirimkan file presentasi dari mata kuliah satu semester yang lalu? That happened to me, sadly. Well, mau tidak mau pagi itu saya meminjam motor Mas Aang menembus dinginnya udara pagi dan pergi ke warnet yang saya temukan saat jalan-jalan pagi tadi. File sent. Dan tiba-tiba saja perut saya berontak. End of story.
***
Sesuai rencana, pagi itu kami berbelanja kebutuhan untuk menginap di Puncak Sikunir, Dieng, malam nanti. Mulai dari air minum, mi instan, pop mie, kopi, spiritus, obat-obatan, hingga kaos kaki. Yosh, semua sudah siap. Saatnya kembali ke base camp, packing dan tidur.


Pada akhirnya saya tidak bisa tidur karena terlalu sibuk mengeringkan baju dan isi tas saya yang hampir semuanya basah.
***
Packing selesai. Mobil siap. Kami pun siap. Sekitar jam 4 sore, kami berangkat menuju Dieng. Dan ya, jalan naik-turun berkelok menjadi pemandangan biasa sepanjang perjalanan. Ditambah lagi dengan udara dingin yang lebih dingin dari hati para jomblo yang kesepian.
Setelah berhenti sebentar di pintu masuk Dieng Plateu Theater guna menunggu suplai sleeping bag dan tenda dari @kalderaprau, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini ditemani dengan sedikit jalan kaki karena mobil yang tidak kuat melewati jalan off-road.
Matahari sudah terbenam ketika kami sampai di parkiran Sikunir. Setelah sholat dan menurunkan barang bawaan dari mobil, dan sedikit narsis juga, kami memulai perjalanan naik. Medan di Sikunir tidak terlalu sulit dan sepanjang di Nglanggeran, akan tetapi cukup untuk membuat ngos-ngosan Mba T dan Mba R. Sebagai lelaki pantang menyerah dan rajin menabung, saya serta Mas Faris pun dengan setia menunggui kedua perempuan pemberani ini. Sementara itu Bang Marko dan Mas Aang sudah berjalan terlebih dahulu, mencari spot terbaik untuk mendirikan tenda.
Angin malam itu terasa sangat menusuk, terlebih lagi saya hanya memakai kaos tanpa jaket dan tanpa sarung tangan. Dengan baik hati, Mba T dan Mba R meminjami saya sarung tangan dan ...... semacam penutup kepala penjaga villa di film-film. Saya lupa namanya.
Akhirnya, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong oleh keinginan luhur, kami berempat sampai juga di camping ground Puncak Sikunir. Tanpa tanda-tanda akan hujan, langit malam yang cerah, dan tentu saja, bulan yang bulat penuh, kami akhirnya berada di Puncak Sikunir.
Di depan kami, berdiri dengan gagah Gunung Sumbing. Besar, kokoh, cantik, dan menakjubkan. Sementara itu, dibelakangnya terlihat siluet gunung Sindoro. Beautiful!Kedua gunung ini sering terlihat di pagi hari di arah tenggara kota kelahiran saya ketika dulu saya berangkat sekolah saat saya masih SD.
Mengingat malam yang sudah turun dan angin yang semakin dingin, kami memulai mendirikan tenda, dimulai dari tenda unyu, lalu dilanjutkan dengan tenda sewaan. Dan voila,tenda akhirnya berdiri, api unggun sudah jadi, dan makan malam alakadarnya dengan pop mie rebus pun siap santap. Dikarenakan malam itu adalah Malam Minggu, eh maksud saya Sabtu Malam, banyak juga rombongan lain yang camping di Sikunir.
Malam semakin larut, angin mulai bertiup kencang, dan suhu di Puncak Sikunir semakin dingin, kami putuskan untuk tidur dan bersiap untuk menyaksikan Golden Sunrise esok hari.
***
Sikunir, 17 November 2013, 04:00 am
Jam empat pagi saya bangun dikarenakan suasana sekitar tenda mulai ramai oleh orang-orang yang sedang bersiap menyaksikan matahari terbit. Come on, it still one hour more! Mau tidak mau saya bangun juga, mengingat tadi malam saya menggigil kedinginan gara-gara tidur di pinggir lubang angin tenda. Well, can’t help it.
Selesai sholat subuh dan setelah memakai atribut anti dingin, kami kemudian mencari spot untuk menyaksikan Golden Sunrise Sikunir. Yah, meskipun tidak di spot utama yang sudah penuh terisi, tak apalah, toh akan tetap terlihat juga.
When the sun starts to shine..
Jam menunjukkan angka lima kurang dua belas menit ketika semburat oranye mulai muncul dibalik “tubuh besar” Gunung Sumbing ini. Dan sembilan belas menit kemudian, sang mentari mulai muncul dari peraduannya, menampakkan segaris sinar kuning di layar kamera HP saya. Perlahan-lahan, lembayung itu berubah warna, oranye, merah, ungu, hingga kuning keemasan, mereka beradumenyejukkan mata ini.

Serasa menjadi anak kecil, segurat senyum tergaris di wajah saya. Indah. Dan disaat seperti ini, saya ingin berbagi dengan seseorang, duduk di sebelahnya, melihat dan merasakan hal yang sama, meskipun ia jauh di barat sana, meskipun hanya selewat kesempatan ditengah sulitnya sinyal, meskipun hanya lewat satu frase pendek saja.You remember this time, no?
Beautiful isn't it?
***
Saat sunrise dimulai, saat itu juga sesi narsis dimulai. Well, saya lebih suka mengabadikan sunrise itu sendiri ataupun siluet saya atau mengabadikan orang lain dibanding harus narsis ini itu segala macem.. walaupun alasan sebenarnya adalah karena saya tidak bisa bergaya macem-macem ketika difoto. I have one actually. Ya, seperti di bawah ini.. mungkin terinspirasi dari patung Penebus di Rio de Janeiro, Brazil. Yes, freedoom! Kebebasan di alam, tanpa pikiran, tanpa beban, bahkan tanpa internet pun anda punya teman di sini, di sisi anda.
♪ I'm free to be whatever I, whatever I choose, and I'll sing blues if I want
Setelah dirasa cukup, Bang Marko mengajak saya untuk hunting spot lain.. untuk narsis lagi. Ya, di Sikunir, ketika kita menghadap ke timur, yang ada adalah bentangan gunung-gunung, sementara ketika kita menghadap ke arah barat, dibalik bukit ini terdapat bentangan Telaga Cebongan (atau mungkin Kecebong?) yang juga tidak kalah cantik ketika dilihat dari atas sini. Narsis moment, starto!
Sisi lain.
Saya dan Bang Marko kemudian melanjutkan berkeliling ke spot utama, yang ternyata masih ramai oleh orang-orang. Sementara itu, keempat teman kami yang lain kembali ke tenda dan sementara kami berdua melanjutkan sesi narsis kami di spot utama ini. Oh, sedang ada pengambilan gambar. FTV kah? Atau mungkin sekuel Naga Terbang di Ind*s**r?


Banyak teman, banyak petualangan, banyak kenangan. #halah
Kami putuskan untuk pulang kembali ke tenda kami, dimana kami harus bersiap-siap kembali pulang ke Karangkobar City untuk pulang ke Jogja sore nanti. Tak lengkap rasanya jika berkemah tidak makan mi instan yang sudah susah payah kami beli hari kemarin. Maka dari itu, untuk mengganjal perut sebelum mulai berkemas, kami memasak mi seadanya sebagai sarapan spesial pagi ini. Kenapa spesial? Karena adanya kamu, maka sarapan pagi terasa spesial. #ealahbro
Sisi lain (lagi).
Jam tujuh lebih, kami mulai berkemas pulang, membereskan tenda, mengepak tas, dan membersihkan sisa sampah untuk dibakar. Sebagai pecinta alam—walaupun amatiran—yang baik, anda harus selalu ingat prinsip yang sudah saya tuliskan di tulisan sebelumnya, Sabtu Malam di Nglanggeran: Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but time.
Yah meskipun tidak semua orang sadar akan hal itu, seperti yang saya jumpai ketika perjalanan naik, ada orang yang merobohkan dahan, atau batang mungkin, pohon untuk dijadikan kayu bakar. Dan, ketika kami baru saja sampai di spot pendirian tenda kami, ada yang kena semprot karena hal yang sama. PADAHAL, dalam perjalanan naik sudah dipasang papan larangan seperti dilarang memotong kayu/pohon, meninggalkan sampah, ataupun hal lain yang saya lupa untuk memotretnya. Yet, they’re still human.
Sekitar jam 8 pagi, kami sudah selesai berkemas dan bersiap untuk turun. Seperti biasa, sepanjang jalan, beberapa kali kami berhenti. Bukan, bukan untuk mengambil nafas, melainkan mengambil foto narsis kami.
Sesampainya di bawah, lagi-lagi kami narsis. He he he.
Para Pencari Sunrise (without me  )
Sementara itu, ketika mobil lain parkir di parkiran khusus mobil, mobil yang kami gunakan justru terparkir manis di parkiran motor... jangan tanya kenapa ke saya. Dia sopirnya, DIAAA!!!

Perjalanan pulang dimulai. Yak, lagi-lagi kami harus berjalan kaki karena mobil yang tidak kuat nanjak di jalan yang na’udzubillah dan juga harus menunggu truk pengantar pupuk berjalan mundur dikarenakan jalan yang hanya muat untuk satu mobil.
Kami mampir sebentar di Kawah Sikidang. Satu, untuk narsis di tepi kawah. Dua, untuk mengembalikan tenda dan sleeping bag kepada @kalderaprau. Dan ketiga, untuk membeli karika.. err, carica.. atau carika? Well, whatever the name.Sedikit cerita, tiket yang semula seharga dua puluh ribu per orang, ketika kami masuk, menjadi dua puluh ribu untuk satu mobil. Rahasianya? Bisikkan “Mas Bambang” kepada petugas tiket dan voila.... magic happens. Tidak tidak, jangan ditiru. Boleh ditiru, resiko ditanggung sendiri.
Kawah Sikidang. #udahgituaja
***
Karangkobar City, 17 November 2013, 11:30 am
Saya terbangun sekitar jam dua belas kurang dan mobil sudah sampai di depan rumah Mas Aang. Jogja semakin dekat.
Setelah ngemil, mandi, ngemil, sholat, ngemil, makan, ngemil,packing, dan meng-copy foto narsis kami yang besarnya hampir 1 GB, jam setengah empat sore kami memulai perjalanan pulang kami. Terlebih dahulu kami mampir di rumah Mba R di Temanggung. Dan lirik Temanggung udane deres terasa sangat tepat mengiringi perjalanan kami yang ditemani oleh hujan cukup deras. Beruntung, sesampainya di rumah Mba R, kami makan malam sebentar sembari menikmati hangatnya kopi. Duh dek.. penak’e.
***
Condongcatur, 17 November 2013, 09:30 pm
Jam setengah sepuluh malam, kami sampai juga di kos setelah saya hampir mati bosan dengan panjangnya jalan satu arah di Magelang. Dan, perjalanan Jogja-Dieng via Magelang-Banjarnegara-Karangkobar-Wonosobo-Temanggung berakhir sudah.

Namun... tugas dari dosen tak berakhir jua.

Hoihaa!

#bumikelangit

Post a Comment