September 04, 2011

(GoVlog-Ramadan) Lebaran: Petasan, Kembang Api dan Balon Udara

+ No comment yet

Lebaran memang sudah lewat beberapa hari yang lalu, tetapi suasanan khas lebaran masih terasa sampai sekarang. Mulai dari mudik, silaturahmi ke sanak saudara, teman dekat, bahkan teman jauh sekalipun. Dan tak lupa saya pribadi mengucapkan mohon maaf lahir batin untuk semua pengunjung dan pembaca blog saya. Mohon maaf bila dalam postingan saya, ada salah tutur kata yang kurang mengenakkan hati.

Ngomong-ngomong soal lebaran, tiap-tiap daerah pasti mempunyai tradisi khas tersendiri. Misalnya kemarin saya melihat di berita TV nasional ada daerah yang mengadakan lomba petasan. Ya, petasan dengan ukuran seibu jari orang dewasa, diikatkan ke tali yang menggantung di pohon kelapa. Ada ratusan petasan yang tergantung, mungkin ribuan. Bahkan ada petasan seukuran ember sedang yang siap dinyalakan sebagai 'sajian penutup' lomba tersebut. Lalu, bagaimana dengan tradisi di daerah anda sendiri?
Petasan cabe rawit yang sering dimainkan anak kecil
Nah, berbicara soal petasan, di daerah saya juga ada tradisi seperti ini. Meskipun semakin kesini skalanya semakin kecil dibandingkan dulu saat saya masih kecil. Ya mungkin salah satu penyebabnya adalah karena ada larangan dari pihak kepolisian agar tidak menyalakan petasan saat Lebaran tiba. 
petasan1.jpg (338×450)
Pak polisi sedang menyita berbagai macam petasan
Akan tetapi sepertinya tren untuk tahun ini berubah. Jika tahun-tahun terdahulu, petasan diledakkan di tanah sehingga berbuntut larangan pihak kepolisian tadi, sekarang petasan diledakkan di atas, di langit (baca: kembang api). Kembang api dengan skala kecil mungkin sudah biasa dan jamak ditemui, namun dengan skala ledakan yang cukup besar, yang biasanya digunakan saat perayaan tahun baru, sekarang mulai banyak dipertunjukkan.
foto-petasan.jpg (600×466)
Kembang api yang sering saya jumpai dijual di pinggir jalan
Imbasnya adalah polusi udara dan polusi suara. Bau hasil ledakan kembang api yang sangat menyengat tentu menggangu indra penciuman kita, mau tidak mau kita harus menutup hidung kita. Apalagi suara ledakkannya cukup memekakkan telinga. Terlebih lagi, tidak hanya satu orang saja yang menyalakannya, jadilah saat malam lebaran bukannya sahut-sahutan takbir 'Allahu akbar, allaahu akbar, allahu akbar. laa ila hailallah huwallaah hu akbar, allahu akbar walillaah hil hamd' yang terdengar. Justru sahut-sahutan 'dar dor dar dor' yang menghiasi langit dengan berbagai macam rupa warna dan suaranya. Ironisnya sebagian dari kita, terutama anak kecil, lebih larut dalam sukacita perang kembang api dibandingkan mengumandangkan takbir di masjid. Meskipun itu hanya sebagian besar saja yang ikut meramaikan, sementara sebagian lainnya memilih berkumpul di masjid untuk tetap mengumandangkan takbir.

Dari yang saya ceritakan di atas, bukankah lebih bijak jika kita menghemat uang yang kita belikan petasan dan kembang api tadi? Ya memang itu kembali ke pribadi masing-masing, karena itu juga merupakan hak pribadi masing-masing. Tetapi bukankah itu semua sama saja dengan mengahmbur-hamburkan uang untuk sesuatu yang menurut saya kurang penting dan justru malah sedikit banyak merugikan orang lain maupun diri sendiri? Just my opinion, soalnya keluarga saya tidak pernah mengajarkan untuk memboroskan uang untuk hal-hal seperti di atas. Dan saya pribadi juga tidak begitu tertarik. Saya hanya tertarik untuk menyaksikannya saja. Hehehe
kembangapi.jpg (600×900)
Ilustrasi kembang api
Tradisi lain di daerah saya adalah penerbangan balon udara sesaat setelah selesai sholat Ied.  Bukan balon gas yang biasanya kita lihat di pameran berskala besar, tetapi balon udara yang diisi dengan asap hasil pembakaran kayu. Dan balon itu adalah balon yang dibuat sendiri lho oleh warga setempat, bukan balon membeli.
liputan lebaran-balon-lebaran-24.jpg (225×300)
Seperti ini kurang lebih ilustrasinya
Dulu saya senang sekali melihat banyak balon udara beraneka warna yang menghiasi langit. Dulu masih banyak balon udara yang saya lihat di langit. Namun sekarang sudah sangat jarang saya lihat lagi. Mungkin karena faktor biaya pembuatan yang semakin mahal, dan faktor kekerabatan yang tidak seerat dulu.
DSC00261[5].jpg (576×768)
Yang seperti ini dulu pun ada
Terlepas dari tradisi yang mulai pudar, adalah tugas generasi sekarang dan selanjutnya (termasuk saya) untuk mencari cara agar tradisi khas ini tidak hilang begitu saja ditelan zaman. Entah dengan cara apa dan bagaimana agar tradisi khas ini tetap ada, agar bisa terus dilestarikan dan dinikmati cucu kita kelak. 


Link di VIVAnews: http://t.co/PZBM3TG

Screenshot


Proudly present to


#BumiKeLangit

Post a Comment