November 25, 2013

Sabtu Malam di Nglanggeran (Updated)

+ No comment yet
Sebenarnya saya ingin berpetualang ke tempat ini, ke Gunung Nglanggeran, ditemani dengan partner sehati saya, si Iris. Akan tetapi, dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan serta fisik yang masih lebih dibutuhkan untuk kuliah, maka akhirnya diputuskan untuk menggunakan motor saja. Dan, judul di atas tidak dimaksudkan untuk menyindir pihak-pihak tertentu, terutama yang sensitif dengan kata-kata "Malam Minggu". Sekian.
***
“I’m at Gunung Api Purba Nglanggeran w/ 1861837 others. 
And noboby gives a f**k.”
Ingin sekali saya meng-update status di Facebook atau nge-tweet di Twitter saya dengan kata-kata di atas. Namun alangkah malangnya saya ketika saya tidak mendapatkan sinyal di puncak Gunung Api Purba pada Sabtu malam yang dingin itu, 26 Oktober yang lalu. Dan lebih malangnya lagi, saya tidak punya f***square.
But whatever, akhirnya saya bisa naik ke Nglanggeran walaupun tidak ditemani Iris (ごめんなさ, Iris-chan).

Sabtu, 26 Oktober 2013, 17:00 pm
Saya sudah sampai di Camping Ground I bersama rekan tercinta saya, Bang Marko Parwoto. Oh ya saya lupa kalau saya pernah berjanji akan mengenalkannya. Nanti, nanti pasti akan saya kenalkan.
Jadi bermula dari ajakanya pada Senin sebelumnya, setelah ia dan teman sekelasnya turun dari Nglanggeran, nampaknya ia ketagihan naik ke gunung dan mengajak saya untuk naik ke Nglanggeran. Saya dengan polosnya mengiyakan saja, karena saya memang belum pernah kesana dan memang menginginkan untuk kesana.
Kembali ke Camping Ground I, setelah mendirikan tenda warna-warni untuk kemping anak SD yang dipinjam dari temannya, kami kemudian naik ke Puncak ..... (maafkan ingatan buruk saya, saya lagi-lagi lupa namanya) untuk menikmati sunset. Alangkah indahnya sunset tersebut jika tidak ada awan-awan cumulunimbus sialan yang menghalangi lembayung senja sore itu. Tapi lumayanlah, betapa masih menjengkelkan dan membuat trauma-nya tanjakan di Bukit Bintang, lelahnya naik tangga dari pintu masuk, dan menusuk-nusuk tulangnya angin sore di puncak gunung, terbayar lunas dengan pemandangan yang menakjubkan. Ya, mata saya masih berbinar-binar, dan bahwa saya nampaknya semakin jatuh cinta dengan segala keistimewaan yang diberikan-Nya kepada saya di Jogja ini.


Awesome!
Dikarenakan gagal sunset, kami putuskan untuk turun karena angin juga semakin mensuk hati yang kesepian ini. Di jalan pulang, kami berkeliling untuk mencari kayu bakar untuk tentu saja kami bakar nanti malam. Kembali ke Camping Ground I, kami bertemu teman Bang Marko, Mba Saras 008 yang juga akan menghabiskan malam di puncak ini.
Selesai sholat Magrib, kami makan nasi telur yang kami bungkus dari kos sembari memperhatikan orang-orang yang mulai berdatangan untuk menghabiskan malam di puncak ini. Ada calon guru-guru agama dari UII, penyiar radio yang sama berisiknya dengan suara radio, dan adik tingkat dari jurusan Bahasa Inggris kami. What a perfect coincidence. Apakah ini semacam makrab untuk para calon-calon guru bahasa inggris ini? Entah.
Dan pemandangan malam yang menakjubkan dari atas sini. Pemandangan lampu tower-wower dan lampu kota yang dulu hanya saya lihat di foto di layar laptop, akhirnya bisa saya lihat dengan mata kepala saya sendiri.


Great view actually. 
Tapi karena kami hanya bermodalkan camdig... maka seperti inilah hasilnya.
Malam itu, semua berjalan lancar. Kami membakar kayu bakar yang kami kumpulkan sore tadi untuk membuat api unggun. Semua masih baik-baik saja, sampai negara api menyerang.
Ah maksud saya, sampai ketika malam mulai masuk setengahnya, hujan turun. Kami hanya bisa berdiam di dalam tenda yang agak bocor atasnya. Dingin dan lembab, saya bertanya-tanya, bisakah saya tidur. Setelah satu jam lebih, hujan akhirnya berhenti, digantikan dengan tanah basah dan becyeek.

Bang Marko dan teman-teman lain keluar dari peraduan, menyalakan api unggun kembali, menyeduh kopi, dan membuat jagung bakar. Saya yang gagal tidur, akhirnya memutuskan untuk keluar dari tenda dan bergabung dengan yang lain. Saya juga lapar. Hehe. 


Mau?
Beberapa jam kemudian saya pergi tidur, sementara rekan tercinta saya memutuskan untuk jaga api. Hingga pagi menjelang, ia tidak tidur sama sekali.

Minggu, 27 Oktober 2013, 04:20 am
Saya putuskan untuk bangun karena bisik-bisik di luar dan lembabnya di dalam tenda yang lumayan mengganggu tidur saya. Dan ternyata teman saya belum bisa tertidur juga. Kami putuskan untuk sholat subuh sembari menunggu teman-teman dari UII naik bersama-sama ke puncak untuk tentu saja melihat sang mentari keluar dari peraduannya. Teman saya memutuskan untuk tidak ikut karena ingin tidur, katanya.
Yak, baiklah saya naik sendiri bersama teman-teman yang lain. Lagipula, minggu lalu pun dia sudah kesini ya? Melewati embun-embun pagi yang masih menempel di ujung-ujung daun basah, ditemani dinginnya angin pagi yang menusuk tulang, dan akhirnya sampai juga di puncak setelah menaiki bebatuan yang cukup untuk membuat seorang mahasiswi dari UII ketakutan naik.
Sesampainya di atas, sang mentari masih belum muncul. Hanya saja, segaris warna kekuningan mulai muncul. Lucky. Sembari menunggu, lagi-lagi hanya angin dingin yang menjadi teman ketika yang lain bersama teman atau pasangan mereka. Meh, whatever.
Pukul 5 lebih 18 menit, sang mentari mulai menampakkan wujudnya. Bersamaan dengan itu, maka Waktu Indonesia untuk narsis bersama Sunrise pun dimulai. 

Sunrise di Nglanggeran. #udahgituaja
Kamera HP check, camdig check, baterai .... oh, sh*t. Nampaknya saya lupa untuk mengecek tadi sebelum naik. Dan dengan susah sinyal serta tangan yang membeku, saya sms Bang Marko menanyakan perihal baterai yang hilang tadi. Dan lalalabumbum, Mba Saras 008 datang memberi pertolongan dengan membawakan baterai camdig yang hilang tadi. Yeah, let’s shoot!



Another view, from Bang Marko's camera
Tak terhitung berapa foto yang saya ambil, dan saya mulai jenuh dengan angin dingin yang terlalu cari perhatian dan posesif kepada saya. Saya putuskan untuk turun bersama mbak-mbak yang takut naik tadi. Dan lagi-lagi mba tersebut, sebut saja Bunga, masih takut turun meskipun kata-kata manis sudah digunakan untuk merayunya.
A few seconds later...
Mba-mba tadi sudah kembali ke tendanya dengan selamat, sementara saya masih nagkring di atas bukit batu di sebelah tenda, melihat-lihat tenda kami dan teman-teman lain serta aktivitas lain di pagi hari dari atas sini. Sementara itu, teman tercinta saya masih dengan setianya menjaga serta mengelus-elus api unggun yang hanya tersisa kepulan asapnya sedari malam tadi.


Coba tebak, manakah tenda kami?
Satu per satu, para penghuni sementara Camping Ground I ini mulai berkemas. Tak lupa, sisa sampah mereka bersihkan dan bawa turun. Sebagai pendaki dan traveler, atau apapun itu istilahnya, you should know these three principles: Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but time.
Dan setelah berkenalan dengan teman baru, Bang Jay, yang ternyata buat saya sudah lumayan expert dalam hal naik turun gunung, kami berdua pun ikut berkemas-kemas menuju tempat mbolang selanjutnya.

Q: Lho? Kok bisa? Kan rencananya cuma nginep semalam di Nglanggeran?
A: Rencana itu bisa berubah kawan, jangan selalu terpaku rencana. Just do it!

Bersambung... or updated here. Soon.

#bumikelangit

Post a Comment