July 12, 2012

Tiga

+ No comment yet
Chapter 4

Aku beradu dengan ganasnya waktu menggerogoti jalanku.

Aku beradu dengan menipisnya semangatku,

yang sejalan dengan menipisnya harapanku.

Aku beradu dengan tingginya mimpiku,

yang semakin jauh dengan gapaian tanganku.


Waktuku semakin pendek, namun aku masih saja berdiri terdiam di sini. Aku terlalu nyaman di sini. Aku takut, aku terlalu takut ketika aku keluar dari kenyamanan ini, aku tak akan pernah menemukannya lagi. Aku hanya tersenyum kecut ketika melihat orang lain dengan semangatnya yang berkoar-koar tentang mimpinya, aku hanya diam. Akupun tak pernah sevulgar itu mengumbar apa yang ada jauh di dalam pikiranku. Bagiku, itu cukup untukku.

1799362937.png (551×669)

Tiga? Enam? Tiga belas?

Persetan. Terlalu banyak rencana menumpuk di otakku. Ya, di o-tak-ku. Kau pikir aku terbiasa menuliskannya di atas kertas putih? Aku hanya berharap, semua itu mengendap di salah satu bagian bawah sadarku, sehingga aku akan teringat ketika aku terlupa. Hanya berharap saja. Mungkin.

Tidak tidak. Aku sedang tidak mendengarkan suara siapapun ketika aku menuliskan ini. Hanya ditemani cahaya putih yang menyilaukan mataku dan papan ketik yang tak begitu menyenangkan ini. Tanpa secangkir kopi. Rokok? Tidak, aku tidak mau membakar uangku hanya demi lintingan kertas sepanjang jari telunjukku itu. Oh ya, tanpa pemanis.

Pemanis? Seperti mengingatkanku akan satu hal. Yang aku maksudkan suatu hal. Pentingkah? Tidak juga, hanya.. sedikit.. menggelitik benakku. Ketika ada seseorang yang bercerita padaku bahwa hidupnya belakangan ini terasa begitu suram, aku menjawab mungkin ia butuh pemanis dalam hidupnya. Namun dari balasannya, sepertinya ia masih ragu. Aku hanya heran, bagaimana bisa aku menyarankan orang lain untuk mencari pemanis bagi hidupnya, sementara aku tidak menyarankan hal yang sama kepada diriku sendiri.

Hah, itu lucu. Aku tersenyum.

Read inside me.

Aku hanya masih heran dengan beberapa orang—termasuk diriku sendiri—yang terkadang suka membaca sifat seseorang hanya sekilas saja. Kawan kau tahu kan, mungkin kover sebuah buku terlihat biasa, tetapi dalamnya begitu tidak biasa. Dan pasti ada seseorang yang menyesal karena terburu-buru menutup buku tersebut, hanya karena tidak sreg membaca beberapa halaman awal. Tidak, aku tidak menyindir seseorang.

Aku hanya sedikit menceritakan kisahku, sedikit.

Aku jadi teringat padamu. Padamu yang mengajarkanku peka. Ya, dirimu. Apa kabarmu? Apakah engkau baik-baik di sana? Sudahkah engkau memaafkanku? Memaafkan kebodohanku beberapa tahun silam? Ya aku sadar aku bodoh. Tidak. Aku tidak berharap kau membaca ini, aku tau. Aku hanya ingin berbicara langsung padamu, tetapi tidak di sini.

Rasanya kita berjalan semakin jauh. Aku kadang masih teringat kata-kata manis kita, yang sekarang entah menguap kemana. Menguap seperti kita, yang terbawa angin dan terpisah jarak begitu jauh. Dan semakin jauh. 

Oh mungkin waktu itu kita pernah dekat, tetapi kapan lagi? Aku jujur, aku tak nyaman. Aku tak nyaman dengan hati kita yang semakin membeku. Membeku ditimpa nestapa. Sore itu.. ah sudahlah. Malam itu pun terkadang masih kuingat. Terlintas sosokmu yang terkadang membuatku merana sendiri. Kau tidak menghantuiku kan?

Aku.. entahlah. Aku tak tau ini rindu, atau pilu yang sekian lama tertimbun malu. Malu kepada dirimu, malu kepada senyummu, malu kepada ketulusanmu.

#BumiKeLangit
#TheSeries #4

Post a Comment